Jumat, 03 September 2021

Blessing in Disguise di Masa Pandemi


            Romo Antonius Gunardi, MSF, Romo Paroki Minomartani, Sleman, Yogyakarta (Ist)

Peristiwa, Jumat (3 September 2021) sungguh mengusik sanubariku terdalam. Sebenarnya kejadian ini sudah yang kesekian kalinya aku hadapi, tetapi terakhir menimpa keluarga dekat sendiri. Pikiran dan perasaan membuncah, ada unsur  protes, sedih, dan marah, campur aduk, ketika mengikuti Zoom Meeting pemulasaran salah satu kerabat yang tinggal di Yogyakarta. Kalau saya sebagai anak atau pasangan almarhum, bisa saja secara spontan akan menangis sejadi-jadi nya untuk menumpahkan campur-aduk kekacauan pikiran dan perasaan yang sedang terjadi saat itu. 

Kalau bisa menunjuk lembaga atau seseorang yang dapat dijadikan obyek sasaran, saat itu juga akan  langsung saya datangi atau setidaknya via japri memperta nyakan mengapa hal ini harus menimpa saya saat ini? Mengapa, mengapa, dan apa salah saya? Meski sejatinya saya juga telah ragu sebelumnya bahwa respon yang didapat  juga pasti sangat tidak akan memuaskan. Bahkan  justru akan melahirkan masalah baru. 

Saya terus terang  kagum dengan keluarga itu, tidak sedikitpun terbesit perasaan yang sedang saya rasakan. Mereka terkesan mencoba untuk bersikap ikhlas! Itulah yang terucap dari salah-satu anak yang terpaksa hanya bisa menghantar yang ayah tercinta ke tempat peristirahatan terakhir di depan layar monitor laptop di tempat tinggalnya Serui, Papua ujung, timur Indonesia sana. "Mungkin itu memang telah menjadi suratan takdir Bapak. Terjadilah yang menjadi kehendak-Mu Tuhan". Demikian ucapnya datar dan tenang dalam bincang-bincang pada persiapan ibadat kematian via Zoom Metting. 

Menurut dia, kejadian sebenarnya berawal pada 10 hari yang lalu, ketika suami-istri (bapak dan ibu) yang sudah berusia lanjut terpapar Covid-19, diduga tertular dari anak dan menantu yang masih aktif bekerja. Sempat selama 10 hari mendapatkan perawatan di Rumah Sakit dr. Sardjito, Yogyakarta. Tapi beberapa hari terakhir sebelum rumah sakit memperkenankan pulang, sang bapak sudah berulang kali  meminta "pulang". Dokter yang menangani tentu tidak mungkin mengizinkan pulang karena hanya hanya karena rengekan pasien minta pulang. 

Dokter bilang untuk memastikan kesembuhan harus dilakukan swab antigen dulu, kalau sudah negatif pasti diizinkan pulang! Sang bapak sangat bersemangat mengikuti swab antigen karena ada harapan segera bisa pulang, meski sang istri kondisinya belum membaik betul. Anak-anak  dan kerabat dekat juga sangat senang karena orang-tua sudah boleh pulang, bahkan beberapa hari terakhir menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menjalani kebiasaan lama membaca surat kabar dan menonton berita dari pesawat televisi yang tersedia di ruang rawat inap. 

Waktu pulang datang, wajah sangat sumringah jauh dari tanda-tanda sebagai mantan penyintas Covid-19. Suasana rumah menjadi hidup kembali karena kedatangan kembali sang penghuni. Sayang hal itu hanya berlangsung tidak penuh satu hari satu malam, tiba-tiba sang bapak kondisi kesehatannya  memburuk, kejadian itu berlangsung sangat cepat. Upaya untuk membawa segera ke rumah sakit terdekat, tidak mampu menyelamatkan nyawanya. Sang anak baru tersadar, beberapa hari terakhir ketika menjalani rawat inap di rumah sakit selalu minta pulang, ternyata pulang yang dimaksud adalah pulang abadi ke Rumah Bapa di Surga.

Putaran peristiwa yang sangat cepat juga membuat kaget kerabat jauh, 10 hari lalu mendengar kabar sedih karena terpapar virus  Covid-19, beberapa hari lalu datang kabar sukacita karena telah dinyatakan sembuh dan boleh pulang ke rumah. Tetapi hanya beberapa jam kemudian mendapati kabar dukacita karena sang bapak telah berpulang untuk selamanya ke rumah Bapa di Surga.

Banyak kerabat dekat nyaris tidak percaya akan kejadian ini, karena sang bapak selama ini tidak ada riwayat penyakit berat, mungkin sejak kecil kunjungan ke rumah sakit untuk berobat dapat dihitung dengan jari. Keluarga juga kebingungan untuk memberi tahu kepada sang istri yang harus menjalani isoman lanjutan di rumah. Menghadapi sebuah kematian salah satu anggota keluarga yang sangat dicintai memang sangat berat, apalagi kondisinya sedang pandemi yang membuat segala sesuatu menjadi serba darurat. 

Selama masa pandemi mencari Imam atau Romo untuk memimpin ibadat kematian secara Katolik jelas bukan perkara mudah. Apalagi kendali penuh pemulasaran sejatinya ada ditangan Satgas Covid-19. Label darurat maka menjadikan ibadat dipimpin oleh Romo dari gereja via daring zoom meeting, pelayat tidak diperkenan kan hadir langsung selama prosesi  pemakaman. Tetapi karena via daring zoom meeting (dunia maya) yang tidak dibatasi lokasi, justru banyak kerabat dekat yang berdomisili jauh --Denpasar, Bali, Jakarta, Bekasi,  Bogor, Papua, bahkan di Australia bisa memanjatkan doa bersama-sama. Itu  nyaris tidak mungkin jika dilakukan pertemuan secara fisik, meski dunia sudah terbebas dari pandemi Covid-19. 

Banyak kemudahan yang diberikan Tuhan, Bapak ini semasa hidupnya sudah menyiapkan sebidang tanah pemakaman tidak jauh dari anak bungsu yang sudah mendahului menghadap Bapa di Surga beberapa tahun lalu. Jika kurang berkenan saya mohon maaf, seandainya Yesus terlahir di zaman milenial pasti akan segera menyempurnakan doa Bapa Kami yang sangat sakral itu. Pada kalimat; "Di Atas Bumi, Seperti Di Dalam Surga, Dan Terjadi di Dunia Maya". Blessing in disguise dimasa pandemi. 5u7o.

Tidak ada komentar:

Muntilan - Betlehem "van Java", Magnet Dua Kota Beda Budaya

                                                                       Kolese Franciscus Xaverius (SMAPL) Van Lith (Ist) Kota Muntilan mend...